Jejak Panjang Nurhadi: Dari Sekretaris MA Hingga Ditangkap KPK Lagi
Nama Nurhadi Abdurrachman pernah harum di lingkungan peradilan Indonesia. Sebagai Sekretaris Mahkamah Agung (MA), ia dikenal sebagai pejabat tinggi yang menguasai dapur birokrasi lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Kariernya terbilang stabil, mengawal administrasi perkara penting, serta mengoordinasikan proses teknis dan non-teknis di MA selama menjabat.
Namun, di balik jalannya proses hukum di MA, nama Nurhadi kemudian menjadi sorotan tajam publik setelah terendus keterlibatannya dalam pusaran suap dan gratifikasi yang berkaitan dengan pengurusan perkara di MA. Hal inilah yang kemudian menjadi awal dari runtuhnya citra Nurhadi di mata publik.
Penangkapan Pertama oleh KPK dan Drama Pelarian
Pada tahun 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Nurhadi sebagai tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi terkait pengurusan perkara di MA. Tidak hanya sendiri, Nurhadi juga menyeret nama menantunya, Rezky Herbiyono, dalam perkara yang merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah ini.
Nurhadi sempat buron selama beberapa bulan sebelum akhirnya berhasil ditangkap oleh KPK di sebuah rumah di Jakarta Selatan. Penangkapan ini menjadi perhatian publik karena Nurhadi dikenal memiliki jejaring kuat dan tidak mudah disentuh hukum, namun akhirnya berhasil dijerat oleh KPK.
Ditangkap KPK Lagi: Babak Baru Perjalanan Kasus Nurhadi
Setelah menyelesaikan masa hukumannya, publik mengira nama Nurhadi akan tenggelam dari isu korupsi. Namun, baru-baru ini KPK kembali menangkap Nurhadi dalam pengembangan kasus yang masih berkaitan dengan perkara sebelumnya. Penangkapan ini dilakukan karena KPK menemukan adanya aliran dana lain yang belum terungkap ke publik.
Penangkapan kedua ini menunjukkan bahwa KPK serius membongkar habis jejaring korupsi di lingkungan peradilan, serta membuktikan bahwa pengungkapan korupsi tidak berhenti hanya karena pelaku telah menjalani hukuman, melainkan tetap diusut hingga tuntas.
Menguak Modus Suap dalam Perkara Peradilan
Kasus Nurhadi membuka mata publik tentang praktik kotor dalam pengurusan perkara di MA, yang sering dilakukan dengan modus jual beli putusan dan pengaturan perkara. Dalam kasus ini, Nurhadi diduga menjadi perantara dan pengendali jalannya perkara yang dapat memengaruhi putusan hakim melalui jalur belakang.
Modus suap ini tidak hanya melibatkan uang tunai, tetapi juga dalam bentuk aset dan fasilitas lain, dengan imbal balik berupa pengurusan perkara agar menguntungkan pihak tertentu. Praktik inilah yang merusak sendi keadilan di Indonesia, karena keadilan menjadi mahal dan hanya berpihak kepada mereka yang mampu membayar.
Harapan untuk Penegakan Hukum
Penangkapan Nurhadi untuk kedua kalinya oleh KPK menjadi pesan tegas bahwa upaya pemberantasan korupsi, terutama di lembaga peradilan, harus dilakukan secara konsisten. Tidak ada lagi ruang untuk kompromi terhadap korupsi di sektor peradilan, sebab lembaga ini adalah pilar terakhir masyarakat untuk mencari keadilan.
Kasus Nurhadi adalah cermin nyata tentang pentingnya reformasi dan pengawasan ketat di lingkungan peradilan, agar integritas penegakan hukum dapat terjaga. Publik kini menanti langkah KPK berikutnya, apakah akan muncul nama-nama lain yang terlibat dalam jejaring kasus Nurhadi, demi membongkar praktik mafia peradilan hingga ke akar-akarnya.