Dugaan Penganiayaan di Ponpes Miftah: 13 Pengurus dan Santri Jadi Tersangka
Dunia pendidikan kembali tercoreng setelah munculnya laporan dugaan kasus penganiayaan yang terjadi di sebuah pondok pesantren ternama, Ponpes Miftah. Sebanyak 13 orang, terdiri dari pengurus dan santri senior, kini resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang diduga melibatkan kekerasan fisik terhadap santri lainnya.
Peristiwa ini sontak menuai perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai praktik disiplin dan pembinaan yang dilakukan dalam lingkungan pesantren.
Kronologi Kasus: Dari Pembinaan ke Penganiayaan?
Menurut laporan kepolisian, kasus ini bermula dari adanya laporan orang tua santri yang mendapati anaknya mengalami luka lebam serius setelah menjalani masa orientasi internal di lingkungan pesantren. Dugaan sementara, kekerasan dilakukan dalam rangka “pembinaan” oleh para santri senior dan pengurus yang memiliki wewenang informal dalam struktur kepesantrenan.
Namun, bukti dan hasil visum menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan melebihi batas wajar dan mengarah pada penganiayaan fisik sistematis. Kepolisian pun langsung bergerak cepat dengan melakukan penyelidikan, memeriksa saksi-saksi, dan mengamankan beberapa barang bukti.
13 Tersangka Ditetapkan
Pihak kepolisian secara resmi menetapkan 13 orang tersangka, yang terdiri dari lima pengurus pondok dan delapan santri senior. Mereka diduga terlibat aktif dalam aksi pemukulan, intimidasi, dan pembiaran kekerasan terhadap korban.
“Para tersangka dijerat dengan Pasal 170 dan/atau 351 KUHP tentang tindak pidana kekerasan secara bersama-sama dan penganiayaan,” ujar perwakilan kepolisian dalam konferensi pers.
Pihak Ponpes Miftah Buka Suara
Pihak Ponpes Miftah, melalui pernyataan resminya, menyatakan bahwa mereka menyesalkan kejadian tersebut dan akan kooperatif dalam proses hukum. Pimpinan pondok juga mengaku tidak mengetahui secara langsung tindakan para santri senior dan pengurus tersebut, dan menganggap kasus ini sebagai bentuk pelanggaran atas nilai-nilai pendidikan yang mereka junjung.
“Kami tidak mentoleransi segala bentuk kekerasan di lingkungan pesantren. Bila terbukti bersalah, kami serahkan sepenuhnya kepada proses hukum,” ujar salah satu pimpinan Ponpes Miftah.
Reaksi Publik: Desakan Reformasi Sistem Pembinaan di Pesantren
Kasus ini menuai banyak tanggapan dari masyarakat, tokoh pendidikan, dan aktivis perlindungan anak. Banyak pihak mendesak agar sistem pembinaan di pesantren diawasi lebih ketat dan tidak lagi memberi ruang bagi praktik kekerasan berkedok pendidikan moral.
Pakar pendidikan Islam menekankan bahwa pesantren harus menjadi tempat yang aman dan damai, bukan ruang di mana kekerasan dianggap wajar demi membentuk karakter.
Kasus dugaan penganiayaan di Ponpes Miftah menjadi pengingat keras bahwa kekerasan tidak pernah bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun, terlebih di lingkungan pendidikan. Pemerintah dan lembaga keagamaan kini dihadapkan pada tantangan besar: mereformasi sistem pembinaan agar tidak hanya menghasilkan santri yang berilmu, tetapi juga terlindungi secara fisik dan mental.